NO
|
PASAL
|
KRITIK
|
SARAN
|
1
|
Pasal 3 angka 13
|
Pasal 3 angka 13 dalam BAB I
‘Ketentuan Umum’ menyebutkan:
“Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang tentang honorium
ditetapkan perkumpulan”
|
Dalam pasal tersebut terkesan
kaku, seharusnya dalam menentukan honorarium, notaris bukan hanya mematuhi
standar yang telah ditentukan oleh perkumpulan INI (Ikatan Notaris
Indonesia). Akan tetapi notaris juga
harus memperhatikan status sosial dan kemampuan kliennya yang meminta bantuan
jasa kenotariatan padanya . Dengan menentukan tarif honorarium yang wajar dan
seimbang dan bukan tujuan utamanya adalah komersil yaitu keuntungan. Karena
Notaris adalah profesi yang luhur yang lebih mengutamakan pengabdian kepada
masyarakat dan Negara
|
2
|
Pasal 4 angka 10
|
Pasal 4 angka 10 dalam BAB III ‘Larangan’
menyebutkan;
Menetapkan honorarium yang harus dibayarkan
oleh klien dalam jumlah yang lebih rebdah dari honorarium yang telah
ditetapkan perkumpulan”
|
Dalam pasal tersebut, bunyinya
berkaitan dengan pasal sebelumnya yaitu pasal 3 angka 13 dimana terkait
dengan penetapan honorarium. Pasal tersebut terlihat seolah-olah jabatan
notaris merupakan jabatan yang memiliki unsur komersil. Hal ini terlihat dari
larangan kepada notariss untuk memberikan tarif lebih rendah daripada yang
ditetapkan oleh perkumpulan INI (Ikatan Notaris Indonesia). Karena dalam
menentukan tarif kepada klien, notariss harusnya melihat status social,
keadaan ekonomi serta kemampuan kliennya, tidak serta merta sebagai kegiatan
komersil.
|
3
|
Pasal 4 angka 13
|
Pasal 4 angka 13 dalam BAB III
‘Larangan’ menyebutkan;
“Membentuk kelompok sesama rekan sejawat
yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu
instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi notaris lain untuk berpartisipasi”
|
Dalam pasal tersebut , notaris
tersebut tidak boleh membentuk suatu kelompok. Seharusnya notaris boleh
membentuk kelompok-kelompok tertentu dengan tujuan melayani instansi atau
lembaga. Pasal tersebut terlalu abstrak dan belum kongkrit dibahas mengenai
alasan dibentuknya kelompok notaris dengan teman sejawatnya. Yang dilarang
apabila perkumpulan tersebut melakukan kegiatan dengan unsure komersil atau
ajang mempromosikan diri, dan menutup kemungkinan kepada notaris lain untuk
tidak dapat berpartisipasi. Kalau hanya sekedar berkumpul dan memiliki tugas
melayani kepentingan masyarakat yang tergabung dalam suatu instansi atau
lembaga, seharusnya tidak dilarang asalkan dengan tetap menjunjung tinggi
keluhuran profesi notaris
|
4
|
Pasal 15 angka 2
|
Dalam pasal 15 angka 2 dalam
BAB VII ‘Ketentuan Penutup” menyebutkan;
“Hanya
pengurus pusat dan/atau alat perlengkapan yang lain dari perkumpulan atau
anggota yang ditunjuk olehnya dengan cara yang dipandang baik oleh kedua
lenmbaga tersebut berhak dan berwenang untuk memberikan penerangan seperlunya
kepada masyarakat tentang Kode Etik Notaris dan Dewan Kehormatan”
|
Dalam pasal tersebut yang kami
garis bawahi adalah ‘penerangan seperlunya kepada masyarakat’. Masyarakat
sebagai kontrol social seharusnya mengetahui secara mendalam mengenai kode
etik yang telah ditetapkan oleh INI (Ikatan Notaris Indonesia), bukan hanya penerangan seperlunya yang
hanya merupakan garis besar, sehingga masyarakat dapat menjadi kontrol
terhadap perilaku dan sikap notaris
dalam menjalankan profesinya luhurnya sebagai notaries.
|
|
|
|
|
Catatan Surya
Assalamu'alaikum Wr.Wb. Blog ini merupakan penunjang materi dalam aktivitas kami sebagai mahasiswa yang sedang belajar mendalami Ilmu Hukum. Semoga bermanfaat bagi semua kalangan. Happy Blogging.
Senin, 18 November 2013
ANALISA NORMATIF KODE ETIK NOTARIS
Sabtu, 16 November 2013
PERBEDAAN UU NO.1/1967 DENGAN UU NO.25/2007
UU NO. 1 Tahun 1967
|
UU No. 25 Tahun 2007
|
Pengertian
investasi asing berdasarkan
undang-undang No. 1 Tahun 1967 (sebagai
UU
Lama) hanyalah meliputi :
Investasi
asing secara langsung (Foreign Direct
Invesment), berarti investor secara
tangsung
menjalankan perusahaan yang bersangkutan di Indonesia:
Bukan investasi
portofolio investment, yaitu investasi yang dilakukan melaiui pasar
modal,
yaitu dengan melakukan pembelian saham.
Catatan
:
Kepemilikan
-
saham - melalui pasar modal tidak dengan
sendirinya menjalankan
perusahaan
tersebut.
Karena
setiap saat investor dapat melepaskan
saham yang dimilikinya yang berarti
dapat
melakukan devestasi kapan saja
|
Adapun UU No. 25 Tahun 2007 memberikan definisi
Investasi sebagai berikut : :
Psl.1(1)
25 / 2007
"Penanaman
Modal ( Investasi ) adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh
-
Penanam ( investor ) Modal Dalam Negeri maupun
-
Penanam ( investor ) Modal Asing
-
Untuk melakukan usaha
-
Di wilayah - Negara Republik Indonesia":
Lebih
lanjut dalam penjelasan Pasal 2 UU
No.25 tahun 2007 disebutkan bahwa
yang
dimaksud dengan penanaman modal berarti dilakukan
-
Di semua sektor
-
Di wilayah negara Republik Indonesia
-
Merupakan penanaman modal langsung dan
-
Tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio
|
Berdasarkan
kategori Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1967
pengertian investasi asing terdiri dari 3
(tiga)
kategori yaitu :
,
(1)
Alat pembayaran luar negeri (valuta asing) yang tidak merupakan bagian dari
kekayaan
devisa
Indonesia, yang dengan persetujuan Pemerintah digunakan untuk membiayai
perusahaan
di Indonesia. Oleh karenanya, hasil ekspor Indonesia yang berbentuk valuta
asing
tidak merupakan modal asing.
(2)
Alat-alat untuk perusahaan, penemuan-penemuan baru (paten) milik orang asing
dan
bahan-bahan,
yang dimasukan dari luar kedalam wilayah Indonesia, selama alat -alat
tersebut
tidak dibiayai dari kekayaan devisa Indonesia.
Dengan
pengertian ini, modal tidak selalu dalam bentuk tunai, dengan demikian
mesin-mesin,
paten (HAKI) dapat dinyatakan sebagai modal,.
Hal ini juga sejalan
dengan
pengertian dalam Undang-undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995.
(3)
Hasil perusahaan yang berdasarkan UU ini diperkenankan ditransfer, tetapi
dipergunakan
untuk membiayai perusahaan di Indonesia.
Misalnya,
keuntungan perusahaan penanam modal asing yang diperolehnya di
Indonesia,
tidak ditransfer ke luar negeri, tetapi ditanamkan kembali di Indonesia.
|
a.
Investasi Asing
Berdasarkan
Pasal 1 ( 3 ) UU No. 25 Tahun 2007 menyebutkan :
"Penanaman
Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha
-
Di wilayah Republik Indonesia
-
Dilakukan oleh Penanam modal Asing,
-
Yang menggunakan modal asing sepenuhnya
-
Maupun modal yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri"
b.
Modal
Asing
Pasal
1 ( 8 )UU No. 25 Th. 2007menyebutkan:
Modal
Asing adalah Modal yang dimiliki oleh
-
Negara Asing,
-
Perseorangan Warga Negara Asing,
-
Badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh
pihak
asing
|
Dalam
UU No.1 ( Tahun 1967) menentukan bahwa;
Pemerintah
menetapkan daerah berusaha perusahaanperusahaan modal asing di Indonesia.
dengan
memperhatikan :
-
Perkembangan ekonomi nasional maupun ekonomi daerah
-
Macam perusahaan,
-
Besarnya penanaman modal dan
-
Keinginan pemilik modal asing.
Pelaksanaan
ketentuan tersebut sekarang harus memperhatikan
-
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan
-
Undang-undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
Dengan
pengertian bahwa daerah daerah otonom dalam hal ini kabupaten dapat
menentukan
bidang-bidang usaha yang akan dikembangkan dengan mengundang modal
asing.
|
Dalam
UU No. 25 Tahun 2007 sudah mengakomodir kewenangan Pernerintah daerah untuk :
-
Menjalankan otonomi seluas luasnya dalam mengatur dan mengurus sendiri
penyelenggaraan
investasi berdasarkan asas otonomi daerah :
-
Tugas pembantuan atau dekonsentrasi.
Oleh
karena itu, peningkatan koordinasi kelembagaan tersebut harus dapat diukur
dari
-
Kecepatan pemberian perijinan investasi
-
Kecepatan penyediaan fasilitas
investasi
-
Biaya yang berdaya saing FILE:
Agar
dapat memenuhi prinsip demokrasi ekonomi.
|
UU
No. 1 Tahun 1967 menetapkan bidang-bidang usaha yang
tertutup
untuk penanaman modal asing secara penguasaan penuh (artinya 100% modal
asing).
Dalam
bidang-bidang tersebut, pengusahaan harus dilakukan bersama-sama dengan
pengusaha
nasional (local) dalam bentuk perusahaan patungan (Joint Venture). Bidangbidang yang menyangkut hajat hidup
rakyat banyak
Pasal
6 (1) UU No. l Tahun 1967 yaitu :
a.
Pelabuhan-pelabuhan
b.
Produksi, transmisi dan djstribusi tenaga listik untuk umum
c.
Telekomunikasi
d.
Pelayaran
e.
Penerbangan
f:
Air minum
g.
Kereta api umum
h Pembangkit tenaga atom
i.
Mass media
Setiap
tahun menetapkan skala prioritas (Daftar Skata Prioritas / DSP) bidang usaha
yang
terbuka
bagi modal asing.
Diluar
daftar tersebut, bidang usaha lainnya tertutup untuk modal asing.
|
Pasal
12 ayat (2) dan (3) UU No. 25 Tahun 2007
a.
Produksi senjata, mesin, alat peledak dan peralatan perang; dan
b.
Bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan
undang-undang
c.
Berdasarkan Kriteria kesehatan, modal, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan
dan
keamanan
nasional, serta kepentingan nasional tainnya.
Dalam
perkembangannya DSP digantikan dengan
Daftar Negatif Investasi. (DNI),
yang
menyebutkan bidang-bidang usaha yang
(1)
Tertutup penuh untuk modal asing dan modal nasional.
(2)
Bidang usaha yang boleh dilaksanakan dengan pengusahaan penuh oleh investor
asing.
(3)
Bidang usaha yang harus dijalankan bersama dengan pengusaha lokal, dan
(4)
Bidang usaha yang hanya diperuntukkan bagi pengusaha lokal.
|
UU
No.1 Tahun 1967 telah menentukan bahwa
a.
Pemerintah Indonesia tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi/ pencabutan
hak
milik
secara menyeluruh atas perusahaan perusahaan modal asing
b.
Atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak mengusai dan/atau mengurus
perusahaan
yang bersangkutan,
c.
Kecuali jika dengan undang-undang dinyatakan . kepentingan negara menghendaki
tindakan
demikian.
|
UU
No. 25 Tahun 2007
Pemerintah
Indonesia tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan
hak
kepemilikan penanam modal kecuali dengan undang-undang. .
|
KESADARAN HUKUM, KETAATAN HUKUM DAN SANKSI-NYA
v
TEORI
KESADARAN HUKUM
Kesadaran
hukum dalam arti sempit adalah “apa yang diketahui orang tentang apa yang demi
hukum harus dilakukan, dan tak harus dilakukan” disini, sadar diartikan sebagai
‘menjadi tahu’. Dalam artinya yang lebih luas, kesadaran hukum meliput tudak
hanya fenomena ‘sudah menjadi tahu,. Akan tetapi juga lebih lanjut menjadi
sudah berkemantapan hati untuk mematuhi apa yang diperintahkan oleh hukum.
Dengan oerkataan lain, dalam arti yang lebih luas ini, apa yang disebut
kesadaran itu tidak hanya akan meliputi dimensi koknitif dan dimensi afektif.
Kesadaran
dalam arti yang sempit terjadi karena proses pengkabaran, pemberitahuan, dan
pengajaran lewat proses – proses ini orang menjadi tahu isi normative yang
terkandung dalam kaidah – kaidah hukum.
Dan sehubungan dengan itu, ia akan segera menyesuaikan segala perilakunya
ketuntutan – tuntutan kaidah. Proses pengkabaran dan pengajaran semacam ini
acap kali berlanjut dalam rupa proses pendidikan, ialah prses pembangkitan rasa
patuh, dan setia. Pendidikan tidak hanyta menanamkan pengetahuan baru saja akan
tetapi juga hendak menggugah perasaan afeksi dan membentuk sikap positif. Lewat
prises lanjutan ini, diharapkan akan dapat dibangkitkan rasa taat yang ikhlas
warga masyarakat kepada hukum dan apabila kepatuhan yang ikhlas ini dapat
terujud, maka hukum pun akan dapat bekerja dengan efektif tanpa perlu meboros –
boroskan sanksi.
Pembentukan masyarakat sadar hukum dan
taat akan hukum merupakan cita-cita dari adanya norma-norma yang menginginkan
masyarakat yang berkeadilan sehingga sendi-sendi dari budaya masyarakat akan
berkembang menuju terciptanya suatu sistem masyarakat yang menghargai satu sama
lainnya, membuat masyarakat sadar hukum dan taat hukum bukanlah sesuatu yang
mudah dengan membalik telapak tangan, banyak yang harus diupayakan oleh pendiri
atau pemikir negeri ini untuk memikirkan hal tersebut.
Peranan
hukum didalam masyarakat sebagimana tujuan hukum itu sendiri adalah menjamin
kepastian dan keadilan, dalam
kehidupan masyarakat senantiasa terdapat perbedaan antara pola-pola perilaku
atau tata-kelakuan yang berlaku dalam masyarakat dengan pola-pola perilaku yang
dikehendaki oleh norma-norma (kaidah) hukum. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya suatu masalah berupa kesenjangan sosial sehingga pada waktu tertentu
cenderung terjadi konflik dan ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya dapat
mengganggu jalannya perubahan masyarakat sebagaimana arah yang dikehendaki.
Keadaan demikian terjadi oleh karena adanya hukum yang diciptakan diharapkan
dapat dijadikan pedoman (standard) dalam bertindak bagi masyarakat tidak ada
kesadaran hukum sehingga cenderung tidak ada ketaatan hukum.
Hukum
yang diciptakan diharapkan dapat dijadikan pedoman (standard) dalam bertindak
bagi masyarakat, meskipun harus dipaksa. Namun demikian masyarakat kita tidak
sepenuhnya memahami tujuan dari hukum tersebut, maka timbul ketidak sadaran dan
ketidak taatanhukum. Hukum merupakan hasil kebudayaan yang diciptakan untuk
maksud dan tujuan tertentu. Pada umumnya manusia adalah mahluk berbudaya,
memiliki pola pikir dalam menghargai kebudayanya.
Membangun kesadaran hukum tidaklah
mudah, tidak semua orang memiliki kesadaran tersebut. Hukum sebagai Fenomena
sosial merupakam institusi dan pengendalian masyarakat. Didalam masyarakat
dijumpai berbagai intitusi yang masing-masing diperlukan didalam masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan memperlancar jalannya pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan tersebut, oleh karena fungsinya demikian masyarakat perlu
akan kehadiran institusi sebagai pemahaman kesadaran hukum.
Beberapa faktor yang mempengarui
masyarakat tidak sadar akan pentingnya hukum adalah :
1. Adanya ketidak pastian
hukum;
2. Peraturan-peraturan bersifat
statis;
3. Tidak efisiennya cara-cara
masyarakat untuk mempertahankan peraturan yang berlaku
v
TEORI
KETAATAN HUKUM
Ketaatan hukum tidaklah lepas dari kesadaran hukum, dan
kesadaran hukum yang baik adalah ketaatan hukum, dan ketidak sadaran hukum yang
baik adalah ketidak taatan. Pernyataan ketaatan hukum harus disandingkan
sebagai sebab dan akibat dari kesadaran dan ketaatan hukum.
Hukum berbeda dengan ilmu yang lain dalam kehidupan manusia,
hukum berbeda dengan seni, ilmu dan profesionalis lainya, struktur hukum pada
dasarnya berbasis kepada kewajiban dan tidak diatas komitmen. Kewajiban moral
untuk mentaati dan peranan peraturan membentuk karakteristik masyarakat.
Didalam kenyataannya ketaatan terhadap hukum tidaklah sama
dengan ketaatan sosial lainnya, ketaatan hukum merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan akan timbul sanksi, tidaklah
demikian dengan ketaatan sosial, ketaatan sosial manakala tidak dilaksanakan
atau dilakukan maka sanksi-sanksi sosial yang berlaku pada masyarakat inilah
yang menjadi penghakim. Tidaklah berlebihan bila ketaatan didalam hukum
cenderung dipaksakan.
Ketaatan sendiri dapat dibedakan dalam tiga jenis, mengutip
H. C Kelman (1966) dan L. Pospisil (1971) dalam buku Prof DR. Achmad
Ali,SH Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang (legisprudence):
1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu
jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut terkena sanksi.
Kelemahan ketaatan jenis ini, karena membutuhkan pengawasan yang terus-menerus.
2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu
jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan
pihak lain menjadi rusak.
3. Ketaatan yang bersifat internalization, yaiutu
jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena merasa bahwa aturan itu
sesuai dengan nilai-nila intristik yang dianutnya.
Pemahaman
Kesadaran hukum dan ketaatan hukum yang mana dijelaskan bahwa :
1. Kesadaran
hukum yang baik, yaitu ketaatan hukum, dan
2. Kesadaran
hukum yang buruk, yaitu ketidaktaatan hukum.
Kewajiban moral masyarakat secara individu untuk mentaati
hukum, tidak ada yang mengatakan bahwa kewajiban merupakan sesuatu yang
absolut, sehingga terkadang secara moral, kita dapat melanggar hukum, namun
tidak ada pakar hukum, yang secara terbuka atau terang-terangan melanggar
hukum. Kita memiliki alasan moral yang kuat untuk melakukan apa yang
diperintahkan oleh hukum, seperti, tidak melakukan penghinaan, penipuan, atau
mencuri dari orang lain. Kita harus mentaati hukum, jika telah ada aturan hukum
yang disertai dengan ancaman hukuman. Mereka yang yakin akan hukum, harus
melakukan dengan bantuan pemerintah, dan mereka yakin, akan mendapat dukungan
dai warga masyarakat.
v
TEORI
SANKSI
Sanksi ialah sejumlah derita yang sengaha sibebankan oleh
masyarakat kepada warganya yang telah terbukti melanggar kaidah hukum.
Sanksi merupakan aktual dari norma
hukum yang mempunyai karakteristik sebagai ancaman atau sebagai sebuah harapan.
Sanksi akan memberikan dampak positif atau negatif terhadap lingkungan
sosialnya. Disamping itu, sanksi ialah penilaian pribadi seseorang yang ada
kaitannya dengan sikap perilaku dan hati nurani yang tidak mendapatkan
pengakuan atau dinilai tidak bermanfaat bila ditaati. Pengaruh hukum dan konsep
tujuan, dapat dikatakan bahwa konsep pengaruh berarti sikap tindak atau
perilaku yang dikaitkan dengan suatu kaidah hukum dalam kenyataan, berpengaruh
positif atau efektifitasnya yang tergantung pada tujuan atau maksud suatu
kaidah hukum. Suatu tujuan hukum tidak selalu identik dinyatakan dalam suatu
aturan dan belum tentu menjadi alasan yang sesungguhnya dari pembuat aturan
tersebut.
·
sanksi
negatif : diberikan bagi
anggota masyarakat yang melanggar norma (hukuman/pidana)
·
sanksi
positif : bagi yang mematuhi
larangan/perintah dari norma itu (penghargaan/hadiah)
·
sanksi
formil :
dirumuskan/ditettapkan dalam peraturan perundang-undangan secar tertulis
sehingga sifatnya lebih pasti
·
sanksi
informil : dirumuskan secara tidak
tertulis (hukum adat)
Mereka
menggunakan istilah sanksi (sanction) untuk merujuk reaksi yang diperoleh orang
karena menaati atau melanggar norma. Sanksi positif (positive sanction)
diberikan kepada orang-orang yang menaati norma sebagai ungkapan persetujuan
atas tindakan/perilaku yang mengikuti norma. Sanksi negatif (negative sanction)
diberikan untuk mencerminkan ketidaksetujuan terhadap pelanggaran norma. Sanksi
positif dapat berupa materi, misalnya hadiah, piala, atau uang, atau dapat pula
berupa tindakan-tindakan seperti pelukan, senyuman, tepukan di punggung,
kata-kata hiburan, jabatan tangan, atau salam dengan saling menepuk telapak
tangan (high fives).
Sanksi
negatif dapat berupa materi, misalnya dikenakan denda oleh pengadilan, atau
dapat pula berupa hal-hal yang simbolik, misalnya kata-kata keras, atau
isyarat-isyarat seperti dahi yang mengkerut, tatapan mata, rahang terkatup
rapat, atau acungan kepalan tinju.
KREDIT MACET SEBAGAI PROBLEMATIKA PERBANKAN INDONESIA
BAB 1 PENDAHULUAN
LATAR BALAKANG:
Pada jaman sekarang, Bank merupakan lembaga keuangan
yang tak asing lagi. Bank dijadikan mitra dalam rangka pemenuhan kebutuhan
keuangan mereka. Bank digunakan sebagai tempat untuk melakukan transaksi
keuangan. Seperti pengiriman uang, penagihan, dan untuk kebutuhan lainnya.
Salah satu layanan dari Bank adalah ‘pemberian
kredit’. Kredit merupakan
suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk
meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu
yang ditentukan.
UU No. 10
tahun 1998 menyebutkan bahwa kredit adalah “penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka watu tertentu dengan
pemberian bunga.”Jika seseorang menggunakan jasa
kredit, maka ia akan dikenakan bunga tagihan.
Dalam Pelayanan pemberian
kredit, tak lepas dari permasalahan. Permasalahn dalam kredit biasanya disebut
dengan kredit macet. Kredit macet adalah suatu keadaan dimana nasabah sudah
tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti
yang telah diperjanjikan.
RUMUSAN MASALAH:
·
Apa penyebab
yang mendasari munculnya kredit macet baik dari pihak bank (kreditur) maupun
nasabah (debitur)?
·
Apa indikasi
suatu Bank yang dapat dikatakan mengalami kredit macet?
·
Bagaimana cara
Bank untuk mengurangi atau mencegah kemungkinan terjadinya kredit macet?
·
Usaha apa yang
dapat dilakukan apabila Bank mengalami kredit macet?
TUJUAN;
·
Mengetahui penyebab yang mendasari munculnya kredit
macet baik dari pihak bank (kreditur) maupun nasabah (debitur).
·
Mengetahui
indikasi suatu Bank yang dapat dikatakan mengalami kredit macet.
·
Mengetahui cara
Bank untuk mengurangi atau mencegah kemungkinan terjadinya kredit macet.
·
Mengetahui Usaha
yang dapat dilakukan apabila Bank mengalami kredit macet.
·
MANFAAT
·
Secara teori
dapat menjadi sumber referensi dalam bidang hukum perbankan, khususnya mengenai
problematika kredit macet.
·
Secara praktis
dapat menjadi acuan agar terhindar dari problematika kredit macet.
BAB 11 PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KREDIT MACET
Di Indonesia
terdapat dua golongan kredit. Yaitu kredit lancer dan kredit bermasalah. Kredit
bermasalah dibagi menjadi tiga yaitu kredit kurang lancer, kredit diragukan,
kredit macet. Kredit macet inilah yang dikawatirkan dapat menutup usaha Bank
itu sendiri.
Kredit macet atau problem loan adalah kredit
yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor atau unsur
kesengajaan atau karena kondisi di luar kemampuan debitur
Suatu kredit digolongkan ke dalam kredit macet bilamana: (Sutojo,
1997, hal: 331)
·
Kredit tidak berjalan dengan lancer
·
Dapat
memenuhi kriteria kredit diragukan, tetapi setelah jangka waktu 21 bulan
semenjak masa penggolongan kredit diragukan, belum terjadi pelunasan pinjaman,
atau usaha penyelamatan kredit; atau
·
Penyelesaian
pembayaran kembali kredit yang bersangkutan, telah diserahkan kepada pengadilan
negeri atau Badan Urusan Piutang Negara (BUPN), atau telah diajukan permintaan
ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit.
B. FAKTOR
PENYEBAB KREDIT MACET
Kesalahan dari pihak kreditur:
·
Keteledoran bank
dalam mematuhi pemberian kredit dari apa yang telah digariskan
·
Terlalu mudah
dalam memberikan kredit karena tidak ada ukuran kelayakan dalam
pengajuan kredit.
·
Konsentrasi dana kredit pada sekelompok debitur atau sektor usaha
yang beresiko tinggi;
·
Kurang memadainya jumlah eksekutif dan staf
bagian kredit yang berpengalaman;
·
Lemahnya bimbingan dan pengawasan pimpinan kepada para eksekutif
dan staf bagian kredit;
·
Jumlah pemberian kredit
yang melampaui batas kemampuan bank;
·
Lemahnya kemampuan bank
mendeteksi kemungkinan timbulnya kredit bermasalah, termasuk mendeteksi arah
perkembangan arus kas (cash flow) debitur lama;
Kesalahan dari pihak
debitur:
·
Adanya salah urus dalam
pengelolaan usaha bisnis perusahaan, atau karena kurang berpengalaman dalam
bidang usaha yang mereka tangani;
·
Problem keluarga,
misalnya perceraian, kematian, sakit yang berkepanjangan, atau pemborosan dana
oleh salah satu atau beberapa orang anggota keluarga debitur;
·
Kegagalan debitur pada
bidang usaha atau perusahaan mereka yang lain;
·
Kesulitan likuiditas
keuangan yang serius;
·
Munculnya kejadian di
luar kekuasaan debitur, misalnya perang dan bencana alam;
·
Watak buruk debitur
(yang dari semula memang telah merencanakan tidak akan mengembalikan kredit).
Langganan:
Postingan (Atom)