I.
HAGUE LAW
Hukum
Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai cara an
alat berperang. Membicarakan Hukum Den Haag berarti kita akan membicarakan
hasil-hasil konferensi Perdamaian I yang diadakan pada tahun 1899 dan
konferensi perdamaian II yang diadakan pada tahun 1907.
Ø Konvensi Den Haag 1899
Konvensi-konvensi
Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag (18
Mei-29 Juli 1899). Konferensi ini merupakan prakarsa Tsar Nicolas II dari
Russia yang berusaha mengulangi usaha pendahulunya Tsar Alexander I yang
menemui kegagalan dalam mewujudkan suatu Konferensi Internasional di Brussel
pada tahun 1874. Ide fundamental untuk menghidupkan lagi Konferensi
Internasional yang gagal itu adalah Rencana Konsepsi Persekutuan Suci (Holy
Alliance tanggal 26 September 1815 antara Austria, Prussia dan Russia. Seperti
diketahui bahwa Quadruple Alliance yang ditandatangani oleh Austria, Prussia
dan Inggris tanggal 20 November 1815 merupakan kelanjutan dari Kongres Wina
september 1814-Juni 1815 untuk mengevaluasi kembali keadaan di Eropa
setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan di Waterloo pada tanggal 18 Juni 1815.
Untuk melaksanakan kehendak Tsar Nicolas II itu maka pada tahun 1898 menteri Luar
Negeri Russia Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua kepala Perwakilan
Negara-negara yang diakreditir di St. Petersburg berupa ajakan Tsar untuk
berusaha mempertahankan perdamaian Dunia dan mengurangi persenjataan.
Konferensi
yang dimulai pada tanggal 20 Mei 1899 itu berlangsung selama 2 bulan
menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899.
Adapun tiga konvensi yang dihasilkan adalah :
1. Konvensi
I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional
2. Konvensi
II TENTANG Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat
3. Konvensi III tentang
Adaptasi Azas-azas Konvensi GENEVA Tanggal 22 Agustus 1864 tentang hukum perang
di laut.
Sedangkan
tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
1. Melarang
penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna
menutupi bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).
2. Peluncuran proyektil-proyektil
dan bahan-bahan peledak dari balon, selama jangka lima tahun yang
berakhir di tahun 1905 juga dilarang.
3. Penggunaan
proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang.
Ø Konvensi Den Haag 1907
Konferensi
perdamaian yang kedua diadakan pada tahun 1907. Konferensi ini secara umum
gagal dan hanya menghasilkan beberapa keputusan. Namun, bertemunya
negara-negara besar dalam konferensi ini menjadi model bagi upaya-upaya kerja
sama internasional yang dilakukan di kemudian hari di abad ke-20. Konferensi
yang kedua ini sebenarnya telah diserukan akan diadakan pada tahun 1904, atas
saran Presiden Theodore Roosevelt , tetapi ditunda karena
terjadinya perang antara Rusia dan Jepang. Konferensi Perdamaian Kedua tersebut
kemudian diadakan dari tanggal 15 Juni sampai dengan 18 Oktober 1907 untuk
memperluas isi Konvensi Den Haag yang semula, dengan mengubah beberapa bagian
dan menambahkan sejumlah bagian lain, dengan fokus yang lebih besar pada perang
laut. Pihak Inggris mencoba mengegolkan ketentuan mengenai pembatasan
persenjataan, tetapi usaha ini digagalkan oleh sejumlah negara lain, dengan
dipimpin oleh Jerman, karena Jerman khawatir bahwa itu merupakan usaha Inggris
untuk menghentikan pertumbuhan armada Jerman. Jerman juga menolak usulan
tentang arbitrase wajib. Namun, konferensi tersebut berhasil memperbesar
mekanisme untuk arbitrase sukarela dan menetapkan sejumlah konvensi yang
mengatur penagihan utang, aturan perang, dan hak serta kewajiban negara netral.
Perjanjian Final
ditandatangani pada tanggal 18 Oktober 1907 dan mulai berlaku pada tanggal 26
Januari 1910. Perjanjian ini terdiri dari tiga belas seksi, yang dua belas di
antaranya diratifikasi dan berlaku:
I - Penyelesaian
Damai atas Sengketa Internasional
II - Pembatasan
Penggunaan Kekuatan untuk Penagihan Utang Kontrak
III - Pembukaan
Permusuhan
IV - Hukum
dan Kebiasaan Perang Darat
V - Hak
dan Kewajiban Negara dan Orang Netral Bilamana Terjadi Perang Darat
VI - Status
Kapal Dagang Musuh Ketika Pecah Permusuhan
VII - Konversi
Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang
VIII - Penempatan
Ranjau Kontak Bawah Laut Otomatis
IX - Pemboman
oleh Pasukan Angkatan Laut di Masa Perang
X - Penyesuaian
Prinsip-prinsip Konvensi GENEVA terhadap Perang Laut
XI - Pembatasan
Tertentu Menyangkut Pelaksanaan Hak Menangkap dalam Perang Laut
XII - Pendirian
Pengadilan Hadiah Internasional (Tidak diratifikasi]
XIII - Hak
dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang Laut
Selain itu
ditandatangani pula dua deklarasi:
-Deklarasi
I - yang
isinya memperluas isi Deklarasi II dari Konferensi 1899 untuk mencakup
jenis-jenis lain dari pesawat terbang.
-Deklarasi
II - mengenai arbitrase wajib.
Delegasi
Brazil dipimpin oleh negarawan Ruy Barbosa , yang
kontribusinya sangat penting bagi dipertahankannya prinsip kesetaraan hukum
negara-negara. Delegasi Inggris beranggotakan antara lain 11th Lord Reay (Donald James Mackay ), Sir Ernest Satow ,
dan Eyre Crowe . Delegasi
Rusia dipimpin oleh Fyodor Martens .
Protokol
GENEVA untuk Konvensi Den Haag Meskipun tidak dirundingkan di Den Haag, Prokol GENEVA
untuk Konvensi Den Haag dianggap sebagai tambahan untuk Konvensi tersebut.
Protokol yang ditandatangani pada tanggal 17 Juni 1925 dan mulai berlaku pada
tanggal 8 Februari 1928 ini secara permanen melarang penggunaan segala bentuk
cara perang kimia dan cara perang biologi. Protokol yang hanya mempunyai satu
seksi ini berjudul “Protokol Pelarangan atas Penggunaan Gas Pencekik, Gas
Beracun, atau Gas-gas Lain dalam Perang dan atas Penggunaan Cara-Cara Berperang
dengan Bakteri” (Protocol for the Prohibition of the Use in War of
Asphyxiating, Poisonous or Other Gases, and of Bacteriological Methods of
Warfare). Protokol ini disusun karena semakin meningkatnya kegusaran publik
terhadap perang kimia menyusul dipergunakannya gas mustard dan agen-agen serupa
dalam Perang Dunia I dan karena adanya
kekhawatiran bahwa senjata kimia dan senjata biologi bisa menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi mengerikan dalam perang di kemudian hari. Hingga hari
ini, protokol tersebut telah diperluas dengan Konvensi Senjata Biologi (''Biological
Weapons Convention'' ) (1972) dan Konvensi Senjata Kimia (''Chemical Weapons
Convention'' ) (1993).
Dalam
hubungannnya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi Deen Haag pada
tahun 1907 itu maka F.Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada waktu
berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang
merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh
Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan
keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda.
Ketika
terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia
Serikat pada tnaggal 27 Desember 1949, maka hak dan kewajiban Hindia Belanda
beralih kepada Republik Indonesia Serikat melalui Persetujuan Peralihan yang
merupakan Lampiran Induk Perjanjian KMB di Den Haag.
Ketika
susunan Negara mengalami perubahan dari Republik Indonesia Serikat menjadi
Republik Indonesia Kesatuan, maka ketentuan peralihan UUDS 1950 telah menjadi
jembatan penghubung tetap sahnya ratifikasi itu, demikian juga ketika UUD 1945
berlaku kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1969, Pasal II Aturan
Peralihan telah menampung hal-hal yang belum diatur oeh UUD 1945 termasuk
Ratifikasi terhadap konvensi Den Haag tersebut.
II.
GENEVA LAW
Konvensi-konvensi
GENEVA meliputi empat perjanjian (treaties) dan tiga protokol tambahan yang
menetapkan standar dalam hukum internasional (international law) mengenai
perlakuan kemanusiaan bagi korban perang. Istilah Konvensi GENEVA, dalam bentuk
tunggal, mengacu pada persetujuan-persetujuan 1949, yang merupakan hasil
perundingan yang dilakukan seusai Perang Dunia II. Persetujuan-persetujuan
tersebut berupa diperbaharuinya ketentuan-ketentuan pada tiga perjanjian yang
sudah ada dan diadopsinya perjanjian keempat. Rumusan keempat perjanjian 1949
tersebut ekstensif, yaitu berisi pasal-pasal yang menetapkan hak-hak dasar bagi
orang yang tertangkap dalam konflik militer, pasal-pasal yang menetapkan
perlindungan bagi korban luka, dan pasal-pasal yang menyikapi masalah
perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di sekitar kawasan
perang. Keempat perjanjian 1949 tersebut telah diratifikasi, secara utuh
ataupun dengan reservasi, oleh 194 negara.
Konvensi-konvensi
GENEVA tidak berkenaan dengan penggunaan senjata perang, karena permasalahan
tersebut dicakup oleh Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 dan Protokol GENEVA.
"Orang
yang dilindungi berhak, dalam segala keadaan, untuk memperoleh penghormatan
atas dirinya, martabatnya, hak-hak keluarganya, keyakinan dan ibadah
keagamaannya, dan kebiasaan serta adat-istiadatnya. Mereka setiap saat
diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi, terutama terhadap segala bentuk
kekerasan atau ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan dan keingintahuan
publik. Perempuan dilindungi secara istimewa terhadap setiap penyerangan atas
martabatnya, terutama terhadap pemerkosaan, pelacuran paksa, atau setiap bentuk
penyerangan tidak senonoh (indecent assault). Tanpa merugikan
ketentuan-ketentuan mengenai keadaan kesehatan, usia, dan jenis kelamin, semua
orang yang dilindungi diperlakukan dengan penghormatan yang sama oleh Peserta
konflik yang menguasai mereka, tanpa pembeda-bedaan merugikan yang didasarkan
pada, terutama, ras, agama, atau opini politik. Namun, Peserta konflik boleh
mengambil langkah-langkah kontrol dan keamanan menyangkut orang-orang yang
dilindungi sebagaimana yang mungkin diperlukan sebagai akibat dari perang yang
bersangkutan." (Pasal 27, Konvensi GENEVA Keempat)Bahwa Hukum Den Haag dan
Hukum GENEVA merupakan dua aturan pokok dalam Humaniter, sebagaiman dikemukakan
oleh Jean Pictet bahwa :
“Humanitarian
Law has two branches, one bearing the name of Geneva, and the other name of the
Hague”. Hukum GENEVA, yang mengatur mengenai perlindungan korban perang,
terdiri atas beberapa perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi GENEVA 1949, yang masing-masing
adalah :
I. Konvensi GENEVA Pertama (First Geneva
Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang
Terluka dan Sakit di Darat, 1864 (Geneva Konvention for the Amelioration of
the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field);
II. Konvensi GENEVA Kedua (Second Geneva
Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang
Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906 (Geneva Convention for the Amelioration of
the condotion of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at
Sea);
III. Konvensi GENEVA Ketiga (Third Geneva
Convention), mengenai PerlakuanTawanan Perang, 1929 (Geneva Convention
Relative to the Treatment of Prisoners of War);
IV. Konvensi GENEVA Keempat (Fourth Geneva
Convention), mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang, 1949 (Geneva Convention
Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War).
Keempat
konvensi GENEVA tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977 ditambahkan lagi dengan
Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan:
1.
Protokol Additional to the Jeneva Covention of 12 August 1949, and Relating to
the Protection of Victims of International Armed Conflict (Protocol I); dan
2.
Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating
to the Protection of Victims of Non International Armed Conlicts (Protocol II).
Konvensi-konvensi
dan persetujuan-persetujuannya
Konvensi-konvensi
GENEVA terdiri dari berbagai aturan yang berlaku pada masa konflik bersenjata,
dengan tujuan melindungi orang yang tidak, atau sudah tidak lagi, ikut serta
dalam permusuhan, antara lain:
v kombatan
yang terluka atau sakit
v tawanan
perang
v orang
sipil
v personel
dinas medis dan dinas keagamaan
Konvensi
Dalam
ranah diplomasi, istilah konvensi mempunyai arti yang lain dari artinya yang
biasa, yaitu pertemuan sejumlah orang. Dalam diplomasi, konvensi mempunyai arti
perjanjian internasional atau traktat. Ketiga Konvensi GENEVA yang terdahulu
direvisi dan diperluas pada tahun 1949, dan pada tahun itu juga ditambahkan
Konvensi GENEVA yang keempat.
v Konvensi
GENEVA Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota
Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864
v Konvensi
GENEVA Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota
Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906
v Konvensi
GENEVA Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai PerlakuanTawanan Perang, 1929
v Konvensi
GENEVA Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan Orang Sipil di
Masa Perang, 1949
Satu
rangkaian konvensi yang terdiri dari empat konvensi ini secara keseluruhan
disebut sebagai “Konvensi-konvensi GENEVA 1949” atau, secara
lebih sederhana, “Konvensi GENEVA”.
Protokol
Konvensi-konvensi
GENEVA 1949 telah dimodifikasi dengan tiga protokol amandemen, yaitu:
v Protokol
I (1977), mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional
v Protokol
II (1977), mengenai Perlindungan Konflik Bersenjata Non-internasional
v Protokol
III (2005), mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan
Aplikasi
Konvensi-konvensi
GENEVA berlaku pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu bagi pemerintah
yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut. Ketentuan rinci
mengenai aplikabilitas Konvensi-konvensi GENEVA diuraikan dalam Pasal 2 dan 3
Ketentuan yang Sama. Masalah aplikabilitas ini telah menimbulkan sejumlah
kontroversi. Ketika Konvensi-konvensi GENEVA berlaku, maka pemerintah harus
merelakan sebagian tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national sovereignty)
untuk dapat mematuhi hukum internasional. Konvensi-konvensi GENEVA bisa saja
tidak sepenuhnya selaras dengan konstitusi atau nilai-nilai budaya sebuah
negara tertentu. Meskipun Konvensi-konvensi GENEVA menyediakan keuntungan bagi
individu, tekanan politik bisa membuat pemerintah menjadi enggan untuk menerima
tanggung jawab yang ditimbulkan oleh konvensi-konvensi tersebut.
Pasal 2 Ketentuan yang Sama, mengenai
Konflik Bersenjata Internasional
Pasal
ini menyatakan bahwa Konvensi-konvensi GENEVA berlaku pada semua kasus konflik
internasional di mana sekurang-kurangnya satu dari negara-negara yang berperang
telah meratifikasi Konvensi-konvensi tersebut. Terutama:
- Konvensi-konvensi GENEVA
berlaku pada semua kasus perang yang dideklarasikan (declared war)
antara negara-negara penandatangan. Pengertian ini merupakan pengertian
yang asli tentang aplikabilitas dan mendahului pengertian versi 1949.
- Konvensi-konvensi GENEVA
berlaku pada semua kasus konflik bersenjata antara dua negara
penandatangan atau lebih, pun tanpa adanya deklarasi perang. Pengertian
ini ditambahkan pada tahun 1949 untuk mengakomodasi situasi-situasi yang
mempunyai seluruh karakteristik perang walaupun tanpa deklarasi perang
yang formal, misalnya aksi polisional (police action).
- Konvensi-konvensi GENEVA
berlaku bagi negara penandatangan walaupun negara lawan bukan
penandatangan, tetapi hanya jika negara lawan tersebut “menerima dan
menerapkan ketentuan-ketentuan” Konvensi-konvensi ini.
Pasal
1 Protokol I lebih lanjut mengklarifikasi bahwa konflik bersenjata melawan
dominasi penjajah atau pendudukan asing juga berkualifikasi sebagai konflik
internasional. Bila kriteria tentang konflik internasional terpenuhi, maka
perlindungan yang disediakan oleh Konvensi-konvensi tersebut dianggap berlaku
sepenuhnya.
Pasal 3 Ketentuan yang Sama, mengenai
Konflik Bersenjata Non-internasional
Pasal
ini menyatakan bahwa aturan-aturan minimum tertentu tentang perang sebagaimana
terdapat di dalamnya juga berlaku pada konflik bersenjata yang tidak
berkarakter internasional tetapi berlangsung di dalam batas-batas wilayah
sebuah negara. Aplikabilitas pasal ini bersandar pada penafsiran tentang
istilah konflik bersenjata. Misalnya, pasal tersebut berlaku pada konflik
antara pasukan Pemerintah dan pasukan pemberontak atau antara dua pasukan
pemberontak atau pada konflik lain yang mempunyai seluruh karakteriastik perang
tetapi berlangsung di dalam batas-batas wilayah sebuah negara. Sekelompok kecil
individu yang melakukan penyerangan terhadap markas kepolisian tidak dianggap
sebagai konflik bersenjata yang tunduk pada pasal ini, tetapi sebagai konflik
bersenjata yang tunduk hanya pada hukum nasional negara yang bersangkutan.
Dalam
konflik bersenjata non-internasional, yang berlaku dari Konvensi-konvensi GENEVA
bukanlah seluruh ketentuannya tetapi hanya ketentuan dalam jumlah terbatas
sebagaimana terdapat dalam redaksi Pasal 3 dan, di samping itu, dalam redaksi
Protokol II. Alasan pembatasan tersebut ialah bahwa banyak pasal dari
Konvensi-konvensi GENEVA akan bertentangan dengan hak-hak Negara Berdaulat.
Ringkasnya:
1. Orang yang tidak ambil
bagian aktif dalam permusuhan diperlakukan secara manusiawi (termasuk anggota
militer yang sudah tidak ambil bagian aktif lagi karena sakit, cedera, atau
tertawan).
2. Korban
luka dan korban sakit dikumpulkan dan dirawat serta diperlakukan dengan respek.
Penegakan:
- Kuasa
Perlindungan
Istilah
kuasa perlindungan (protecting power) mempunyai arti spesifik
berdasarkan Konvensi-konvensi ini. Kuasa perlindungan ialah sebuah negara yang
tidak ikut serta dalam sebuah konflik bersenjata tetapi setuju untuk mengurus
kepentingan sebuah negara lain yang menjadi peserta konflik tersebut. Kuasa
perlindungan berfungsi sebagai mediator yang memungkinkan terjadinya komunikasi
antara pihak-pihak peserta konflik. Kuasa perlindungan juga berfungsi memantau
implementasi Konvensi-konvensi ini, misalnya dengan cara mengunjungi kawasan
konflik dan tawanan perang. Kuasa perlindungan harus bertindak sebagai
pendamping (advocate) bagi tawanan, korban luka, dan orang sipil.
- Pelanggaran
berat
Tidak
semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi GENEVA diperlakukan setara. Kejahatan
yang paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches)
dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime).
Pelanggaran berat atas Konvensi GENEVA Kedua dan Ketiga antara lain adalah
tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi
oleh konvensi tersebut:
- pembunuhan sengaja, penyiksaan,
atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi
- dengan sengaja menyebabkan
penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan
- memaksa orang untuk berdinas di
angkatan berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan
- dengan sengaja mencabut hak
atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) dari seseorang
Tindakan
berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi GENEVA
Keempat:
- Penyanderaan
- penghancuran dan
pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan
berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan
hukum dan secara tanpa alasan.
- deportasi, pemindahan, atau
pengurungan yang melawan huku
Negara
yang menjadi peserta Konvensi-konvensi GENEVA harus memberlakukan dan
menegakkan peraturan perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan
tersebut. Negara-negara juga berkewajiban mencari orang yang diduga telah
melakukan kejahatan tersebut, atau yang diduga telah memerintahkan dilakukannya
kejahatan tersebut, serta mengadili orang tersebut, apapun kebangsaan orang
tersebut dan di mana pun kejahatan tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi
universal ini juga berlaku bagi penegakan hukum atas pelanggaran berat. Untuk
tujuan itulah maka Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International
Criminal Tribunal for Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk
eks-Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia)
dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi.
Konvensi-konvensi GENEVA dewasa ini
Meskipun
peperangan telah mengalami perubahan dramatis sejak diadopsinya
Konvensi-konvensi GENEVA 1949, konvensi-konvensi tersebut masih dianggap
sebagai batu penjuru Hukum Humaniter Internasional kontemporer.
Konvensi-konvensi tersebut melindungi kombatan yang berada dalam keadaan hors
de combat (tidak dapat ikut bertempur lagi) serta melindungi orang sipil yang
terjebak dalam kawasan perang. Perjanjian-perjanjian tersebut menjalankan
fungsinya dalam semua konflik bersenjata internasional yang belum lama ini
terjadi, termasuk Perang Afghanistan (2001- sekarang), Invasi Irak 2003 ,
invasi Chechnya (1994-sekarang), dan Perang di Georgia (2008). Peperangan
moderen terus mengalami perubahan, dan dewasa ini proporsi konflik bersenjata
yang bersifat non-internasional semakin meningkat [misalnya: Perang Saudara di
Sri Lanka, Perang Saudara di Sudan, dan Konflik Bersenjata di Kolombia. Pasal 3
Ketentuan yang Sama menangani situasi-situasi tersebut, dengan dilengkapi oleh
Protokol II (1977). Pasal dan protokol tersebut menguraikan standar hukum
minimum yang harus diikuti untuk konflik internal.
Mahkamah internasional, terutama Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia, telah membantu mengklarifikasi hukum internasional di bidang tersebut. Dalam putusannya mengenai kasus Jaksa Penuntut v. Dusko Tadic tahun 1999, Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia menetapkan bahwa pelanggaran berat berlaku tidak hanya pada konflik internasional, tetapi juga pada konflik bersenjata internal. Lebih lanjut, Pasal 3 Ketentuan yang Sama dan Protokol II dianggap sebagai hukum internasional kebiasaan (customary international law), yang memungkinkan dilakukannya penuntutan atas kejahatan perang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang belum secara formal menerima ketentuan-ketentuan Konvensi GENEVA.
Mahkamah internasional, terutama Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia, telah membantu mengklarifikasi hukum internasional di bidang tersebut. Dalam putusannya mengenai kasus Jaksa Penuntut v. Dusko Tadic tahun 1999, Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia menetapkan bahwa pelanggaran berat berlaku tidak hanya pada konflik internasional, tetapi juga pada konflik bersenjata internal. Lebih lanjut, Pasal 3 Ketentuan yang Sama dan Protokol II dianggap sebagai hukum internasional kebiasaan (customary international law), yang memungkinkan dilakukannya penuntutan atas kejahatan perang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang belum secara formal menerima ketentuan-ketentuan Konvensi GENEVA.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar