Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang
melaksanakan Kekuasaan kehakiman di Indonesia bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap
sengketa pajak.
Dimana yang dimaksud
sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dibidang perpajakan antara wajib
pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan pajak. Itu termasuk
gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan dengan
surat paksa
Pengadilan pajak
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak. Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu kota
negara. Persidangan oleh Pengadilan Pajak dilakukan di tempat
kedudukannya, dan dapat pula dilakukan di tempat lain berdasarkan ketetapan
Ketua Pengadilan Pajak.
Susunan Pengadilan
Pajak terdiri atas: Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Panitera. Pimpinan
Pengadilan Pajak sendiri terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5
orang Wakil Ketua.
Pembinaan serta
pengawasan umum terhadap hakkim Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan
ditanggulangi olehKementrian Keuangan.
Selain itu, ada juga
penjelasan dalam pasal 9A ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 dan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 , secara tegas dinyatakan
bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Adapun dasar untuk
menegaskan kedudukan Pengadilan Pajak dalam lingkup peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung, adalah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 004/PUU-11/2004
dinyatakan, pihak-pihak yang bersengketa dapat
mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah
Agung.
PENGADILAN PAJAK,
KEDUDUKAN DAN KEKUASAAN
A. Pengadilan
Pajak (Pasal 2)
|
1.
|
Pengadilan Pajak
adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak
atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
|
|
2.
|
Pengadilan Pajak
berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 adalah kelanjutan dari Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1997.
|
B. Kedudukan
Pengadilan Pajak
|
1.
|
Pengadilan pajak
berkedudukan di ibukota Negara.
|
|
2.
|
Sidang Pengadilan
Pajak dilakukan di tempat kedudukannya
|
|
3.
|
Apabila dipandang
perlu dapat dilakukan di tempat lain yang ditetapkan oleh Ketua.
|
C. Kekuasaan
Pengadilan Pajak ( Pasal 31, 32 & 33)
|
1.
|
Pengadilan Pajak
merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam
memeriksa dan memutus Sengketa Pajak oleh karenanya putusan Pengadilan Pajak
tidak dapat diajukan Gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara
atau Badan Peradilan lain, kecuali putusan berupa "tidak dapat diterima"
yang menyangkut kewenangan/kompetensi
|
|
2.
|
Pengadilan pajak
mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak
|
|
3.
|
Pengadilan Pajak dalam
hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan
kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
|
4.
|
Pengadilan Pajak dalam
hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak
atau Keputusan pembetulan atau, Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku.
|
|
5.
|
Pengadilan Pajak
mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang
bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.
|
|
6.
|
Pengadilan Pajak dapat
memanggil atau meminta data atau keterangan yang berkaitan dengan Sengketa
Pajak dari pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
|
D. Susunan
Pengadilan Pajak (Pasal 6 dan 7)
|
1.
|
Pengadilan Pajak
terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris dan Panitera
|
|
2.
|
Pimpinan Pengadilan
pajak terdiri seorang Ketua dan paling banyak 5 (lima) orang Wakil Ketua
|
A. Pengertian
Peradilan pajak dalah upaya hukum yang dilakukan oleh wajib pajak
dalam rangka mencari keadilan terhadap Ketetapan Pajak yang diterbitkan oleh
Dirjen Pajak atau Kepala Daerah. Peradilan Pajak dapat dibagi menjadi dua jenis
peradilan, yaitu peradilan murni dan peradilan tidak murni. Penjelasanya adalah
sebagai berikut :
1. Peradilan Murni
Peradilan yang
melibatkan tiga pihak, yaitu wajib pajak, fiskus dan hakim yang mengadili.
Wajib pajak dan fiskus adalah pihak yang bersengketa sedangkan hakim atau
majelis hakim antara pihak yang akan memutuskan sengketa tersebut.
2. Peradilan Tidak Murni
Peradilan yang hanya
melibatkan dua pihak, yaitu pihak wajib pajak dan pihak fiskus tanpa melibatkan
pihak ketiga yang independen. Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus
menjadi pihak yang mengambil keputusan dalam perselisihan pajak yang
bersangkutan.
B. Susunan Pengadilan Pajak
Susunan pengadilan pajak
terdiri atas :
1. Pimpinan
2. Hakim
3. Sekretaris
C. Pemeriksaan Sengketa Pajak
Pengadilan pajak sebagai pengadilan pertama dan terakhir
pemeriksaan sengketa pajak hanya dilakukan oleh pengadilan pajak, sehingga
putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan gugatan kepengadilan umum,
peradilan tatausaha Negara atau badan peradilan lain kecuali putusan berupa
“tidakdapatditerima” yang menyangkut kewenangan / kompetensi.
D. Keberatan
Dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan
kemungkinan terjadi bahwa wajib pajak merasa kurang atau tidakpuas atas suatu
ketetapan pajak yang dikenakan padanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh
pihak ketiga .Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat
Wajib Pajak tersebut terdaftar.
E. Banding
Pengertian banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP
atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding,
berdasarkan peraturan perundangan pajak yang berlaku. Keputusan dimaksudkan
suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat
berwenang berdasarkan peraturan perundangan-undangan perpajakan dan dalam
rangka pelaksanaan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
F. Pencabutan Banding
Banding yang telah diajukan dengan surat banding dapat
diajukan pencabutan dengan surat penyataan pencabutan yang diajukan kepada
pengadilan pajak. Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan
diatas tidak dapat diajukan banding kembali.
G. Gugatan
Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP atau
penanggung pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan
yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku. Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan tidajk
dapat diajukan kembali. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya
penagihan pajak atau kewajiban perpajakan.
H. Pelaksanaan Persidangan
Dalam pelaksanaan persidangan, ketua menunjuk majelis yang terdiri
dari tiga orang hakim atau hakim tunggal untuk memeriksa dan mengurus sengketa
pajak. Apabila pemeriksaanya dilakukan oleh majelis, maka ketua menunjuk salah
seorang hakim tersebut sebagai hakim ketua yang memimpin pemeriksaan sengketa
pajak.Majelis atau hakim tunggal bersidang pada hari yang ditentukan dan
memberitahukan hari siding dimaksud kepada pihak yang bersengketa. Pemohon
banding atau penggugat dapat hadir dalam persidangan dengan terlebih dahulu
memberitahukan pada ketua untuk memberikan keterangan lisan.
I. Pembuktian
Dalam hal pembuktian, pengadilan pajak menganut prinsip pembuktian
bebas. Majelis atau hakim tunggal sedapat mungkin mengusahakan bukti
berupa surat atau tulisan sebelum menggunakan alat bukti lain. Alat bukti
tersebut dapat berupa :
1. Surat
atau tulisan yang terdiri dari :
a. Akta
autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang
menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud
untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di
dalamnya
b. Akta
dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak
yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
c. Surat
keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang
d. Surat-surat
lain atau tulisan yang tidak termasuk hurufa.b, dan c yang ada kaitannya dengan
banding atau gugatan
2. Keterangan ahli, yaitu pendapat orang
yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui
menurut pengalaman dan pengetahuannya
3. Keterangan parasaksi, dianggap sebagai
barang bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat,
atau didengar sendiri oleh saksi
4. Pengakuan para pihak, tidak dapat
ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh
majelis hakim atau hakim tunggal.
5. Pengetahuan hakim, yaitu hal yang
diketahui dan diyakini kebenarannya
J. Putusan
Putusan pengadilan pajak diambil berdasarkan hasil penilaian
pembuktian dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
bersangkutan serta berdasarkan keyakinan hakim. Putusan pengadilan pajak dapat
berupa :
a) Menolak
b) Mengabulkan
sebagian atau seluruhnya
c) Menambah
pajak yang harus dibayar
d) Tidak
dapat diterima
e) Membetulkan
kesalahan teknis dan atau kesalahan hitung
f) Membatalkan
Sebagai putusan akhir dan mempunyai kekuatan hokum tetap, maka
keputusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan gugatan kepengadilan umum,
peradilan tata usaha Negara, atau badan peradilan lain, kecuali putusan berupa
“tidak dapat diterima” yang menyangkut kewenangan / kompetensi.
K. Pelaksanaan Putusan
Putusan Pengadilan Pajak ini langsung dapat dilaksanakan dengan
tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali putusan
perundang-undangan mengatur lain. Apabila putusan dimaksud me nyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sebagai contoh putusan pengadilan pajak menyebabkan
Pajak Penghasilan menjadi lebih bayar. Dalam hal demikian kepada KPP masih
harus menerbitkan Surat Perintah membayar kelebihan pajak (SPMKP) yang
diperlukan pembayar pajak untuk dapat memperoleh kelebihan pajak.
Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruh
banding, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga
sebesar 2 persen sebulan untuk paling lama 24 bulan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pelaksanaannya salinan putusan atau salinan penetapan
pengadilan pajak dikirim kepada para pihak dengan surat oleh sekretaris dalam
jangka waktu 30 hari sejak tanggal putusan pengadilan pajak diucapkan, atau
dalam jangka waktu 7 hari sejak tanggal putusan diucapkan. Putusan pengadilan
pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 hari
terhitung sejak tanggal diterima putusan. Pejabat tidak melaksanakan putusan
pengadilan pajak dalam jangka waktu tersebut, dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan kepegawaian yang berlaku.
KESIMPULANNYA : Pada intinya, peradilan dan pengadilan pajak
itu berbeda, peradilan itu merupakan bagian dari pada pengadilan pajak.
Perbedaannya adalah jika Peradilan Pajak itu merupakan sebuah proses dari
pengadilan pajak, namun jika Pengadilan Pajak itu merupakan tempat dilakukannya
peradilan pajak tersebut.
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Lebih
dari 70 persen belanja negara dalam APBN berasal dari sektor ini. Bisa
dikatakan tanpa pajak maka pembangunan sulit berjalan. Keberadaan Pengadilan
Pajak menjadi salah satu faktor penting untuk menyelamatkan uang negara dari
para ‘mafia pajak’. Perlu diketahui, Pengadilan Pajak memiliki sejarah dari
masa ke masa.
Pengadilan Pajak sudah ada pada masa sebelum
kemerdekaandan lebih dikenal dengan peradilan. Peradilan dapat dibedakan, yakni
peradilan tingkat pertama dan kedua. Peradilan pertama tidak dapat dikatakan
sebagai peradilan dalam arti yang sebenarnya atau peradilan murni. Hal ini
disebabkan instansi yang melaksanakan fungsi peradilan adalah sama dengan yang
melakukan penetapan pajak.
Dengan kondisi seperti ini, tentu saja wajib pajak berada
dipihak yang lemah dan sulit untuk mendapatkan pengadilan yang sebenarnya. Buku
berjudul “Mencari Keadilan di Pengadilan Pajak”karya Djazoeli Sadhani,
Syahriful Anwar dan K. Subroto, menjelaskan pada masa itu, ketentuan yang
mengatur tentang hal ini adalah Ordonansi atau Peraturan atau Undang-Undang
Pajak yang bersangkutan.
Misalnya,keberatan untuk Pajak Perseroan (PPs) 1925 atau Vennotschap Belasting diatur di dalam Ordonansi PPs
1925. Demikian pula untuk pajak pendapatan (Inkomsten
Belasting) diatur dalam
Ordonansi Pajak Pendapatan 1944.
Apabila wajib pajak merasa keberatan dan tidak dapat
menerima keputusan tersebut, maka wajib pajak masih diberi kesempatan untuk
melakukan upaya lanjutan yakni dengan permohonan banding. Oleh sebab itu,
pemerintah waktu itu berkeinginan untuk mendirikan badan khusus yang
mengurusi dan menyelesaikan permohonan banding ini. Keinginan tersebut dapat dipenuhi
dengan ditetapkannya Staatsblad tahun 1915 No.707 tanggal 11 Desember 1915
yaituOrdonnantie Tot Regeling van Het Beroep in Belastingzaken (Peraturan Banding Pajak).
Namun,badan ini masih berada dibawah Gubernur Jenderal.
Sedangkan yang menjadi ketua badan ini adalah Menteri Keuangan yang ditunjuk
karena jabatannya (ex officio). Anggotanya
pun terdiri dari calon-calon yang diusulkan oleh Mahkamah Agung dan Kamar
Dagang dan Industri.
Dalam perkembangannya, dengan diundangkannya Staatsblad
tahun 1927 No.29 yaitu tot
regeling van het beroep in belastingzaken atau
Majelis Banding Urusan Pajak yang menggantikan Stb. 1925 No. 707,hal penting
diatur dalam peraturan baru tersebut adalah mengenai jabatan Ketua Majelis
Banding Pajak. Sesuai PAsal 2 Ordonansi tersebut, yang menjadi Ketua Majelis
adalah Wakil Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda (Hooggererechtshof).
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, maka
kedudukan Badan Peradilan Pajak ini semakin jelas sebagai peradilan yang tidak
lagi dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Sehngga dapat dikatakan sebagai
cikal bakal peradilan pajak yang mandiri seperti sekarang.
Pengadilan pajak pada masa pra kemerdekaan dibentuk oleh
pemerintahan Belanda. Pembentukan lembaga ini pada masa itu dikenal dengan
sebutan Peradilan Pajak yang berkedudukan di Batavia. Pada 1925, sebutan
Peradilan Pajak berubah menjadi Peradilan Banding Pajak (PBP).
Proklamasi kemerdekaan membawa banyak perubahan bagi
keberadaan tatanan mengenai Peradilan Banding Pajak, namun tetap mempertahankan
Peradilan Banding Pajak tersebut sebagaimana diatur dalam Aturan Peralihan UUD
1945. Undang-UndangNo.5 Tahun 1959 merupakan UU yang tidak mengubah substansi
dari peraturan sebelumnya, hanya saja UU tersebut mengubah aturan tentang
sebutan atau istilah.
Dengan terbitnya UU No.5 Tahun 1959, sistem peradilan
pajak masa kolonial yang dulu dinamakanPeradilan Banding Pajak, berubah menjadi
Majelis Pertimbangan Pajak (MPP).
“Saat itu, lokasi MPP terletak di Lapangan Banteng Timur
No.1A, tepatnya di belakang gedung Eks Mahkamah Agung (MA) Komplek Kantor
Kementerian Keuangan saat ini,” kata Wakil Ketua Bidang I Pengadilan Pajak,
Indra J Rivai, menjelaskan sejarah Pengadilan Pajak kepadahukumonline.
Keberadaan MPP di Komplek Kemenkeu Lapangan Banteng cukup
lama. Setelah pemerintah menerbitkan UU No.17 Tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), Kantor BPSP sempat pindah ke Jl.Cut Mutia
No 7 Jakarta Pusat. Saat ini, gedung tersebut digunakan sebagai Gedung KPP
Menteng. Tidak lama di Jl.Cut Mutia, pada tahun 1998 Pengadilan Pajak kembali
pindah ke Pancoran, tepatnya di gedung yang saat ini digunakan sebagai Kantor
Pusat Jasindo.
Sekadar catatan, BPSP dimaksudkan untuk menggantikan
tugas-tugas MPP yang dianggap sudah tidak memadai dan sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan dalam menyelesaikan sengketa pajak secara lebih baik, yakni
penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah dan
sederhana.
Pengadilan Pajak berkantor di Pancoran hanya sampai tahun
2002.Pengadilan Pajak kini berada di Gedung Sutikno Slamet tepatnyadi komplek
Kementerian Keuangan. Gedung inimerupakan gedung pertama yang dibangun
dikomplek Kemenkeu. Beberapa tahun setelah Pengadilan Pajak pindah ke Gedung
Sutikno Slamet, barulah Gedung-gedung lain dibangun pada komplek tersebut.
Gedung Sutikmo Slamet terdiri dari dua puluh lantai. Saat
ini, gedung tersebut diisi oleh Pengadilan Pajak dan Dirjen Anggaran. Sebelum
Kemenkeu berkantor dilokasi yang sama dengan Pengadilan Pajak, Gedung Sutikno
Slamet hanya ditempati oleh Pengadilan Pajak. Dirjen Anggaranpindah ke Gedung
Slamet Sutikno karena gedung tersebut hanya ditempati oleh Pengadilan Pajak
pada beberapa lantai saja.
“Lantai yang kosong akhirnya dihuni oleh Dirjen
Anggaran,” ujar Indra.
Pengadilan Pajak hanya menempati tujuh lantai dari dua
puluh lantai di Gedung Sutikno yakni lantai 5, 6, 7, 8, 9 dan 10. Lantai 5
ditempati oleh Ketua Pengadilan Pajak, Wakil Ketua Pengadilan Pajak serta
Sekretaris Pengadilan pajak. Lantai 6 ditempati oleh bagian Umum, lantai 7
dipakai sebagai ruangan majelis hakim dan pengganti panitera, lantai 9 dan 10
dipakai untuk ruangan sidang sedangkan lantai 20 digunakan sebagai ruang
Majelis Hakim.
Adapun hakim yang bekerja pada Pengadilan Pajak terdiri
atas 55 orang dan beberapa merangkap sebagai Ketua dan dua Wakil Ketua
Pengadilan Pajak. Saat ini, terdapat delapan belas majelis, di mana setiap
majelis terdiri dari tiga hakim. Saat ini, Pengadilan Pajak dipimpin oleh
Saroyo Atmosudarmo.
Pengadilan Pajak memiliki delapan ruang sidang yang
terletak pada lantai 9 dan 10. Tiap ruangan sidang, rata-rata berukuran 6x8
meter. Ruangan ini sama seperti ruang sidang lainnya, hanya saja sedikit
berukuran kecil. Ruang sidang terdiri dari meja dan kursi majelis hakim,
tergugat dan penggugat serta beberapa kursi tamu yang terletak di bagian
belakang.
Setiap lantai yang berfungsi sebagai ruang sidang
dilengkapi dengan tiga ruang tunggu. Ruang tunggu umum, yakni ruang tunggu yang
terletak tepat didekat pintu masuk. Memasuki lorong sebelah kanan, terdapat
ruang tunggu tergugat sementara lorong sebelah kiri menjadi ruang tunggu
penggugat.
Tetapi, Gedung Sutikno Slamet yang ditempati Pengadilan
Pajak rupanya sudah tidak memadai lagi. Apalagi, saat ini Gedung Sutikno Slamet
ditempati oleh Dirjen Anggarandan Pengadilan Pajak sendiri. Ruangan yang
berukuran kecil dan sempit dinilai sebagai indikator utama untuk Pengadilan
Pajak segera berpindah ke gedung baru.
Pada pertengahan 2013 Pengadilan Pajak berencanapindah ke
Gedung yang terletak di Jalan Hayam Wuruk No.7 Jakarta Pusat,tepatnya Gedung
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pengadilan Pajak nantinya akan
menempati Gedung A, B dan F di Komplek BPKP. Saat ini, Gedung tersebut masih
dalam proses renovasi.
Selain karena ruangan di Gedung Sutikno Slamet yang daya
tampungnya sudah tidak memadai, Indra mengaku, rencana berpindahnya Kantor
Pengadilan Pajak ke Kompleks BPKP untuk menghindari opini masyarakat yang
menilai Pengadilan Pajak tidak independen karena berada dikomplek Kemenkeu.
"Kalau di sana selesai kita akan pindah," kata
Indra.
Untuk diketahui, pemerintah inginmemindahkan sebagian
tempat bersidang Pengadilan Pajak yang selama ini hanya berada di Jakarta ke 5
kota besar di Indonesia. Kelima kota itu adalah Bandung, Yogyakarta, Surabaya,
Medan, dan Makassar. Tempat bersidang Pengadilan Pajak rencananya akan
mengambil lokasi di Gedung Keuangan Negara yang ada di kelima kota tersebut.
Pemilihan kelima kota tersebut didasarkan pada
perhitungan dan proyeksi jumlah sengketa pajak di masing-masing daerah
berdasarkan data dari Bagian Administrasi Sengketa Pajak II, Sekretariat
Pengadilan Pajak. Namun dari 5 kota tersebut, Pengadilan Pajak baru hadir di
Yogyakarta pada 7 Juni 2012.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar