PERBEDAAN HAM DIBAWAH UUD 1945 SEBELUM AMANDEMEN,
KONSTITUSI RIS 1949, UUDS 1950, DAN UUD 1945 SETELAH AMANDEMEN
Hasil amandemen UUD 1945 memberikan
suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung
nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian
dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus
mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan
perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi
tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia
yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya.
Namun demikian, pemasukan
pasal-pasal mengenai HAM sebagai suatu jaminan konstitusi (constitutional
guarantee) ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di kalangan akademisi
maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada
dua pasal yang apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling
bertolak belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadap non-derogable rights
(Pasal 28I) dan ketentuan mengenai human rights limitation (Pasal 28J).
Benarkah dalam UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM,
termasuk di dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi
”…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”?
Tulisan ringan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan
pendapat the 2nd founding parents serta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi.
Rujukan Dasar
Rujukan yang melatarbelakangi
perumusan Bab XA (Hak Asasi Manusia) UUD 1945 adalah Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998.Hal ini dikemukakan oleh Lukman Hakim Saefuddin dan Patrialis
Akbar, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang
bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, pada persidangan resmi di
Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Mei 2007. Ketetapan MPR tersebut kemudian
melahirkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Semangat
keduanya, baik itu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa hak asasi manusia
bukan tanpa batas.Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam
pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia
bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh
pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan
Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu
mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal
yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD
1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal
28I ayat (1) UUD 1945.
Jika kita menarik dari perspektif
original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang
tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent
pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga
diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh
ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945
tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor
2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische
interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan
Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sistematika pengaturan mengenai hak
asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan
dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang
pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2)
yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be
subject only to such limitations as are determined by law solely for the
purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of
others and of meeting the just requirements of morality, public order and the
general welfare in a democratic society.”
Konstitusionalisme
Indonesia
Dalam perkara yang sama, Mahkamah
menilai bahwa apabila kita melihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme
Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah
berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan
UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan
hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah
konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945 sebelum
Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang
hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4
memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah satunya adalah
sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
2. Pasal 32 ayat (1)
Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan
Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan
undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang
diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak
dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta
kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil
untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan
yang demokrasi”;
3. Pasal 33 UUDS 1950 juga
membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut,
“Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini
hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta
kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil
untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang
demokratis”;
4. UUD 1945 pasca
Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan paham konstitusi
(konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni
melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di
atas;
Sejalan dengan pandangan
konstitusionalisme Indonesia tentang HAM sebagaimana telah diuraikan di atas,
ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum
ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan
konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga
memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh yaitu adanya
pembatasan mengenai hak untuk hidup (right to life):
1. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998
memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber
dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta
berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia
dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak
untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”,namun dalam Pasal 36-nya
juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup
sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”;
2. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1)
dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak
untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun dan oleh siapa pun. Namun, Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa
hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk
kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan putusan
pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan mengenai
pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang
diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan
undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap
hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban
umum, dan kepentingan bangsa”.
Selain itu, putusan Mahkamah yang
dapat kita jadikan rujukan mengenai pembatasan terhadap HAM di Indonesia yaitu
Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai pengujian terhadap diterapkannya
ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose
Osorio Soares
Sebagaimana dipahami, dalam Pasal
28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan
sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, termasuk di
dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang
berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat (1)
haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga hak untuk
tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak.
Oleh karena hak-hak yang diatur
dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”dapat dibatasi, maka secara prima
facie berbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari Pasal tersebut, seperti
misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk berkomunikasi (Pasal 28F),
ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti dapat pula dibatasi,
dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang
telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Kesimpulan
Adanya tafsir resmi Mahkamah
Konstitusi dalam beberapa putusannya terkait dengan pembatasan HAM di Indonesia
telah memberikan kejelasan bahwasanya tidak ada satupun Hak Asasi Manusia di
Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Penulis sangat memahami apabila
banyak pihak yang beranggapan bahwa konstruksi HAM di Indonesia masih menunjukan
sifat konservatif, terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di
berbagai belahan dunia lainnya. Lebih lanjut, apabila kita menggunakan salah
satu dari pilihan penafsiran hukum tata negara yang berjumlah sebanyak dua
puluh tiga macam, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam
bukunya “Pengantar Hukum Tata Negara”, tentunya semakin membuahkan hasil
penafsiran yang beraneka ragam.
Namun demikian, Hukum Tata Negara
haruslah kita artikan sebagai apa pun yang telah disahkan sebagai konstitusi
atau hukum oleh lembaga yang berwenang, terlepas dari soal sesuai dengan teori
tertentu atau tidak, terlepas dari sama atau tidak sama dengan yang berlaku di
negara lain, dan terlepas dari soal sesuai dengan keinginan ideal atau tidak.
Inilah yang disebut oleh Prof. Mahfud M.D sebagai “Politik Hukum” dalam buku
terbarunya berjudul “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”.
Menurutnya, Hukum Tata Negara Indonesia tidak harus sama dan tidak pula harus
berbeda dengan teori atau dengan yang berlaku di negara lain. Apa yang
ditetapkan secara resmi sebagai hukum tata negara itulah yang berlaku, apa pun
penilaian yang diberikan terhadapnya.
Terlepas dari semua hal tersebut di
atas, satu hal yang perlu kita kita garis bawahi di sini bahwa Konstitusi
haruslah dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga acapkali ia dikatakan
sebagai a living constitution. Oleh karena itu, konsepsi pembatasan terhadap
HAM pada saat ini dapat saja berubah di masa yang akan datang. Sekarang tinggal
bagaimana mereka yang menginginkan adanya perubahan konstruksi pemikiran ke
arah tertentu, dapat memanfaatkan jalur-jalur konstitusional yang telah
tersedia, misalnya dengan menempuh constitutional amandmend, legislative
review, judicial review, constitutional conventions, judicial jurisprudence,
atau pengembangan ilmu hukum sebagai ius comminis opinio doctorum sekalipun.
sumber http://sesukakita.wordpress.com/2012/01/31/perbedaan-ham-dibawah-uud-1945-sebelum-amandemen-konstitusi-ris-1949-uuds-1950-dan-uud-1945-setelah-amandemen/

Tidak ada komentar:
Posting Komentar